KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji syukur atas rahmat dan ridho
Allah swt. Karena tanpa rahmat dan ridho-Nya, kami tidak dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Dan shalawat berserta salam
kami kemas seindah-indahnya kepada nabi Muhammad saw.
Dalam proses pembelajaran mata kuliah tafsir ini kami mensajikan
makalah yang membahas tentang ibadah, kebaikan dan kejahatan. Dalam makalah
kami ini kami memaparkan tentang ibadah, kebaikan dan kejahatan melalui
penafsiran ayat – ayat Al- qur’an yang membahasnya, melalui buku – buku tafsir
yang menjadi rujukan bagi kami.
Mudah-mudahan Allah swt memberikan kemanfaatan atas makalah ini dan
melimpahkan pertolongan dan kebenaran kepada kita semua serta menambah
pengetahuan kita, khususnya dalam memahami apa yang kami paparkan dalam makalah
ini.
Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Zulkifli Nasution, S.Pd.I,
MA. yang telah memberikan tugas ini kepada kami yang mungkin menjadikan kami
mahasiswa yang aktif dan pustakawan serta menambah pengetahuan bagi kami.
Medan, 16 Mei 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Memenuhi tugas makalah
tafsir yang diberikan bapak Zulkifli Nasution, S.Pd.I, MA. serta rasa ingin
tahu kami tentang ibadah, kebaikan, dan kejahatan.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan dibicarakan
beberapa permasalahan, sebagai berikut:
a.
Apa
yang dimaksud dengan ibadah dan hakikatnya?
b.
Bagaimana
cara mengabdi kepada Allah swt sebagai fitrah manusia?
c.
Apa pokok-pokok
ibadah kepada Allah swt ?
d.
Bagaimana
kebaikan dan kejahatan dalam konsep Al-qur’an?
1.3
PEMBATASAN MASALAH
Dalam
makalah kami ini membahas masalah-masalah di atas, hal ini bertujuan agar
makalah ini bisa diterima baik dilihat dari segi Al-Quran sebagai pedoman umat
Islam dan dari segi keilmuan sebagai bukti bahwa akal yang diberikan oleh Allah
kepada manusia tidak sia-sia tapi digunakan untuk mengkaji kebesaran Allah swt.
1.4
TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah tafsir yang ada di
IAIN Sumatera Utara, selain itu penulisan makalah ini juga bertujuan untuk:
a.
Mengetahui
pengertian ibadah dan hakikatnya.
b.
Mengetahui
cara mengabdi kepada Allah sebagai fitrah manusia.
c.
Mengetahui
pokok-pokok ibadah kepada Allah swt.
d.
Dapat
membedakan kebaikan dan kejahatan dalam konsep Al-qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ibadah dan Hakikatnya
A.1.
Pengertian Ibadah
Menurut lugat, ibadah berarti taat, mengikuti, dan tunduk. Ibadah
dapat diartikan juga dengan tunduk yang setinggi-tingginya dan berdo’a.[1]
Tafsir surah Al-qur’an yang membahas
tentang ibadah salah satunya adalah surah Al-Baqarah
yang berbunyi:
الَّذِيْ
خَلَقَكُمْ وَ الَّذِيْنَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ
Artinya : Wahai manusia! Sembahlah olehmu akan Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu terpelihara.
Tafsir ayat:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ
Makna
tafsir dari potongan ayat tersebut adalah Nabi saw.
melalui da’wahnya menganjurkan kita melakukan
penyembahan kepada
allah swt, tidak hanya Nabi saw, tetapi Nabi yang lainnya juga melakukan hal
tersebut, seperti firman allah yang berbunyi dalam surah an-nahl ayat
36:
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ
الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ
الْمُكَذِّبِينَ
Artinya: “Dan
sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara
umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”.
Dakwah rasulullah saw pada umatnya pada mulanya ditujukan
pada bangsa Arab dan Yahudi yang tinggal di madinah dan daerah
sekitarnya. Sebenarnya, mereka itu beriman kepada Allah, tetapi tidak menyembahnya. Terkadang
mereka mengikutsertakan
selain Allah dalam hal penyembahan, atau memang
menyembah selain Allah.
الَّذِيْ
خَلَقَكُمْ وَ الَّذِيْنَ مِن قَبْلِكُمْ
Makna tafsir
dari potongan ayat tersebut adalah sesungguhnya Allah yang maha agung dan memiliki sifat-sifat yang sebelumnya
kamu ketahui, telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian. Allah juga
yang memelihara kalian dan orang-orang yang sebelum kalian. Allah mengatur
kepentinganmu, kemudian menganugerahkan sarana pengetahuan dan jalan menuju
hidayah, seperti Allah menganugerahkan kepada orang-orang sebelum kalian.
Karenanya, sembahlah Allah semata, jangan sekali-kali kalian menyekutukan-Nya
dengan seseorang atau makhluk-makhluk-Nya.
لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُوْنَ
Makna tafsir dari potongan ayat tersebut adalah Sembahlah
Allah sebagaimana semestinya, karena menyembah allah dengan cara yang
semestinya itulah yang akan mengantarkan kalian kepada taqwa, dan meruakan
harapan menuju kesempurnaan.[2]
Kedua terdapat dalam surah adz-dzariyat ayat 56:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Ayat diatas menyatakan: Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia untuk satu manfaat yang kembali kepada diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas
mereka adalah beribadah kepada-Ku.
Huruf (ل) atau lam pada kata (لِيَعْبُدُونِ) li ya’budun bukan berarti agar supaya mereka beribadah atau agar Allah disembah. Huruf lam disini dinamai oleh pakar pakar bahasa arab lam al-aqibah, yakni yang berarti kesudahan atau dampak dan akibat sesuatu.
Huruf (ل) atau lam pada kata (لِيَعْبُدُونِ) li ya’budun bukan berarti agar supaya mereka beribadah atau agar Allah disembah. Huruf lam disini dinamai oleh pakar pakar bahasa arab lam al-aqibah, yakni yang berarti kesudahan atau dampak dan akibat sesuatu.
Dikutip dalam tafsir Al-Misbah, Pada ayat tersebut Sayyid
Quthub mengartikan ibadah bukan hanya
terbatas pada pelaksanaan tuntunan ritual, karena jin dan manusia tidak
menghabiskan waktu mereka dalam pelaksanaan ibadah ritual. Allah tidak
mewajibkan mereka melakukan hal tersebut tetapi Allah mewajibkan kepada mereka
aneka kegiatan yang lain yang menyita sebagian besar hidup mereka.
B.2. Hakikat ibadah
Ibadah ialah
ketundukan yang timbul karena jiwa yang merasa cinta dan kebesaran-Nya, serta
keyakinan akan ketentuan hukum-Nya. Dari beberapa pengertian ibadah, dapat dipahami
bahwa adanya saling melengkapi hakikat ibadah itu sendiri. Jelasnya tidaklah
dipandang seorang mukallaf telah beribadah dengan sempurna jika hanya
mengerjakan ibadah-ibadah dalam pengertian fuqaha saja, tetapi perlu beribadah
dengan yang dimaksudkan ulama tauhid atau ulama lainnya.
Oleh sebab itu, barulah didapati hakikat ibadah dan ruhnya yang
selanjutnya berfungsi menggerakkannya. Hakikat ibadah mengandung suatu
pengertian tidak menolak suatu hukum Allah dan meminta sesuatu yang hanya
kepada-Nya.
اصل العبادة ان لا ترد من احكمهه شيئا ؤلا ثسئا ل الحاجة
Artinya : Pokok ibadah itu adalah engkau tidak menolak sesuatu
hukum Allah, tidak meminta sesuatu hajat pada selain-Nya, dan tiada mau menahan
sesuatu dijalan-Nya.[3]
Selanjutnya, pokok
ibadah itu adalah kita meridhai Allah selaku pengendali urusan, selaku orang
yang memilih, meridha Allah sebagai pembagi, pemberi, dan penghalang rezeki
manusia.
Dalam tafsir Al-Mishbah hakikat ibadah itu terdapat dalam surah
Al-Furqan 77 yaitu:
قُلْ مَا يَعْبَئُوْا بِكُمْ رَبِّيْ لَوْلاَ دُعَاؤُكُمْ
Artinya: “Katakanlah (kepada orang-orang musyrik):
“Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu.
Dalam ayat tersebut dapat disimpulkan hakikat ibadah adalah
menempatkan diri seseorang dalam kedudukan kerendahan dan ketundukkan serta
mengarahkannya ke arah maqam Tuhannya.
B.
Mengabdi Kepada Allah Sebagai Fitrah Manusia
Kata fitrah secara bahasa adalah bentuk masdar
linnau’/al-haiah dari sulasi mujarrad “fatr”.Jadi dapat dikatakan bahwa fitrah
berasal dari bahasa arab yaitu “fatr”.Fitrah juga bisa dikatakan kejadian sejak
semula, atau bawaan sejak lahir,[4]keadaan yang mula-mula yang asal atau
asli, sifat naluri manusia atau sifa-sifat Tuhan yang menjadi potensi manusia
sejak lahir,wahyu yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya.[5]
Pada dasarnya
fitrah manusia itu adalah mengesakan Allah seperti yang terdapat pada surah
al-A’raf ayat 172 dibawah ini:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ
قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا
عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Tafsir ayat:
Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang janji yang dibuat pada
waktu manusia dilahirkan dari rahim orang tua (ibu) mereka, secara
turun-temurun, yakni Allah menciptakan manusia atas dasar fitrah. Allah
menyuruh ruh mereka untuk menyaksikan susunan kejadian diri mereka yang
membuktikan keesan-Nya, keajaiban proses penciptaan dari setetes air mani
hingga menjadi manusia bertubuh sempurna, dan mempunyai daya tanggap indra,
dengan urat nadi dan sistem urat syaraf yang mengagumkan, dan sebagainya.
Berkata Allah kepada ruh manusia “Bukankah aku ini Tuhanmu?” maka menjawablah
ruh manusia, “Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami telah menyaksikan.” Jawaban
ini merupakan pengakuan ruh pribadi manusia sejak awal kejadiannya akan adanya
Allah Yang Maha Esa, yang tiada Tuhan selain yang patut disembah kecuali Dia.
Dengan ayat ini Allah bermaksud menjelaskan kepada manusia, bahwa
hakikat kejadian manusi itu didasari atas kepercayaan kepada Allah Yang Maha
Esa. Sejak manusia itu dilahirkan dari rahim orang tua mereka, ia sudah
menyaksikan tanda-tanda keesaan Allah pada kejadian mereka sendiri.
Penolakan terhadap ajaran Tauhid yang dibawa Nabi itu sebenarnya
perbuatan yang berlawanan dengan fitrah manusia dan dengan suara hati nurani
mereka. Karena itu tidaklah benar manusia pada hari Kiamat nanti mengajukan
alasan bahwa mereka alpa, tak pernah diingatkan untuk mengesakan Allah. Fitrah
mereka sendiri dan ajaran Nabi-nabi senantiasa mengingatkan mereka untuk
mengesakan Allah dan menaati seruan Rasul serta menjauhkan diri dari syirik.[6]
Pada surah Ar-Rum
juga menjelaskan dasar fitrah manusia itu adalah agama islam dan mengesakan
Allah.
Surah Ar-Rum ayat
:30
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي
فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
Tafsir ayat:
Pada kata (قاقم وجهك)
fa aqim wajhaka maka hadapkanlah wajahmu yang dimaksud adalah perintah untuk
mempertahankan dan meningkatkan upaya menghadapkan diri kepada Allah secara
sempurna karena selama ini kaum muslimin apalagi Nabi Muhammad saw telah
menghadapkan wajah mereka kepada tuntunan agamanya.[7]
Pada kata (حنيفا) hanifan biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu.
Kata ini pada mulanya digunakan untuk menggambarkan telapak kaki dan
kemiringannya kearah telapak pasangannya. Yang kanan condong kearah kiri dan
yang kiri condong kearah kanan. Ini menjadikan manusia dapat berjalan dengan
lurus.
Pada kata (فطرة)
fithrah terambil dari kata fathara yang berarti mencipta. Sementara pakar
menambah fithrah adalah “ Mencipta sesuatu pertama kali/tanpa ada contoh
sebelumnya” dengan demikian, kata
tersebut dapat juga dipahami asal kejadian atau bawaan sejak lahir.[8]
Pada kata فِطْرَتَ
اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا (tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu). Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri,
pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah
Swt. pada manusia.
Menurut sebagian mufasir,
kata fithrah Allâh berarti kecenderungan dan kesediaan manusia terhadap
agama yang haq. Sebab, fitrah manusia diciptakan Allah Swt. untuk cenderung
pada tauhid dan dîn al-Islâm sehingga manusia tidak bisa menolak dan
mengingkarinya.
Sebagian mufassir lainnya seperti Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, Abu
Hurairah, dan Ibnu Syihab memaknainya dengan Islam dan Tauhid. Ditafsirkannya
fitrah dengan Islam karena untuk fitrah itulah manusia diciptakan.[9] Menurut
Al-Biqa’i yang dimasuk dengan fitrah adalah ciptaan pertama dan tabi’at awal
yang Allah ciptakan manusia atas dasarnya. Ia mengutip tulisan imam Al-Ghazali
dalam ihya’ ulum ad-Din bahwa “setiap manusia telah diciptakan atas
dasar keimanan kepada Allah bahkan atas potensi mengetahui persoalan-persoalan
sebagaimana adanya, yakni bagaikan tercakup dalam dirinya karena adanya potensi
pengetahuan ( padanya)”.
Al- Biqa’i menjelaskan maksud Al-Ghazali bahwa yang dimaksud adalah
kemudahan mematuhi ( perintah Allah ) serta keluhuran budi pekerti yang
merupakan cerminan dari fitrah Islam. Pandangan ini dibuktikan oleh Biqa’i
melalui pengamatan terhadap anak-anak. Mereka semua memiliki perangai yang
lurus serta kemudahan mematuhi petunjuk yang jelas tidak seperti orang dewasa,
walaupun mereka bertingkat-tingkat dalam hal ini. Dengan demikian, tulis Al –
Baqa’i yang dimaksud dengan fitrah adalah penerimaan kebenaran dan kemantapan
mereka dalam penerimaanya.
Dalam
tafsir jalalain disebutkan penafsiran surat ar-Rum ayat 30[10]
óOÏ%r'sù (Maka hadapkanlah) wahai Muhammad È $Zÿ‹ÏZym ûïÏe$#Ï9 y7ygô_ur (wajahmu dengan lurus pada
agama) maksudnya cendrungkanlah dirimu pada agama Allahyaitu dengan cara
mengikhlaskan dirimu dan orang-orang yang mengikutimu di dalam menjalankan
agamanya |!$# NtôÜÏù «(fitrah Allah) ciptaanya t$pköŽn=tæ
}¨$¨Z9$# sÜsù ÓÉL©9$# (yang telah menciptakan
manusia menurut fitrahnya itu) yaitu agamanya maka yang dimaksud ialah,
tetaplah atas fitrah atau agama AllahŸ
«!$# È,ù=yÜÏ9 Ÿ@ƒÏ‰ö7s?w (tidak ada perubahan pada
fitrah Allah) pada agamanya. Maksudnya jangan kalian mengantinya. Misalnya
menyekutukan Allah dengan selain Allah. (itulah agama yang lurus) yaitu agama
tauhid Ĩ$¨Z9$#
ŽsYò2r& ÆÅ3»s9ur
u (tetapi kebanyakan
manusia) yaitu orang-orang ŸbqßJn=ôètƒw (tidak
mengetahui) ketauhitan atau keesaan Allah.
C.
Pokok-pokok ibadah pada Allah swt.
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”.
Tafsir ayat:
Ayat diatas menyatakan: dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia untuk satu manfaat yang kembali kepada diri-Ku. Aku tidak
menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas mereka
adalah beribadah kepada-Ku.
Pada ayat ini penekanannya adalah beribadah kepada-Nya
semata-mata, redaksi yang digunakan bentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya
semata-mata tanpa memberi kesan adanya keterlibatan selain Allah swt.
Huruf (ل) pada kata لِيَعْبُدُونِ bukan berarti agar
supaya agar mereka beribadah atau agar Allah disembah . لِيَعْبُدُونِ pada ayat diatas, dinamai
oleh pakar-pakar bahasa lam al-‘aqibah, yang berarti kesudahan
atau dampak akibat sesuatu.
Ibadah bukan hanya sekedar ketaatan dan ketundukan,
tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya
akibat adanya rasa keagungan dan jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya
ia mengabdi. Ia juga merupakan dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu
tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya.
Pokok-pokok ibadah dalam surat Adz-dzariyat ayat 56 adalah :
1.
Ibadah
Mahdhah
Ibadah mahdhah ialah ibadah yang waktu dan kadarnya telah ditentukan
oleh hukum syara’. Contohnya shalat,
dan lain-lain.
2.
Ibadah
Ghairu Mahdhah
Ibadah yang waktu dan kadar pelaksanaanya tidak ditentukan oleh
hukum syara’. Contohnya sedekah, dan lain-lain.
D.
Kebaikan dan Kejahatan dalam Konsep Al-Qur’an
Kebaikan dalam bahasa arab bisa
berupa Birrun, Sholihun, dll. Dimana makna dari masing-masing kata tersebut
berbeda-beda yaitu sebagai berikut:
KHOIRON (خَيْرٌ) adalah kebaikan yang menjadi pilihan, dan diperoleh
dengan cara berjuang dan berusaha. Misal : berjuang mengkhatamkan Al Qur'an
karena ada peraturan untuk mengkhatamkan (ini baik namun bukan khoiron), dan
berjuang mengkhatamkan Al Qur'an karena pilihan kita sendiri (inilah kebaikan-khoiron).
MA'RUFUN ( مَعْرُوْف) adalah kebaikan yang terasa sampai ke hati, baik hatinya dan atau hati orang lain. Misal : memberi sumbangan dengan cara kurang baik yg tidak mengenakkan hati penerimanya (ini jenis kebaikan hanya sampai ke hatinya tp tidak ke hati orang lain-bukan ma'rufun). Memberi sumbangan dengan cara baik yang sampai dengan baik ke hati kita dan penerima (inilah ma'rufun).
BIRRUN بِرٌّ)) adalah kebaikan yang bisa menghantarkan ke surga. Misal : infak seribu rupiah bagi org yg punya harta 800 miliar, maka hal ini baik namun tidak berarti banyak, ini bukan birrun. Infak seribu rupiah bagi orang yang hanya memiliki uang dua ribu rupiah, maka ini sangatlah berarti, inilah birrun.
HASANUN (حَسَنٌ) adalah kebaikan yang membuat tiada apapun dan siapapun antara kita dengan Allah Ta'ala. Benar-benar melakukan segalanya hanya karena Allah.
JAYYID (جَيِّدٌ) adalah kebaikan yang biasanya ditujukan kepada sebuah hadist. Bila dikatakan suatu hadits yang jayyid atau semisal hadits ini jayyid, maka hal ini dimaksudkan bahwa hadits demikian memiliki sanad yang baik, tidak begitu lemah, dan tidak pula syadz atau ganjil.
MA'RUFUN ( مَعْرُوْف) adalah kebaikan yang terasa sampai ke hati, baik hatinya dan atau hati orang lain. Misal : memberi sumbangan dengan cara kurang baik yg tidak mengenakkan hati penerimanya (ini jenis kebaikan hanya sampai ke hatinya tp tidak ke hati orang lain-bukan ma'rufun). Memberi sumbangan dengan cara baik yang sampai dengan baik ke hati kita dan penerima (inilah ma'rufun).
BIRRUN بِرٌّ)) adalah kebaikan yang bisa menghantarkan ke surga. Misal : infak seribu rupiah bagi org yg punya harta 800 miliar, maka hal ini baik namun tidak berarti banyak, ini bukan birrun. Infak seribu rupiah bagi orang yang hanya memiliki uang dua ribu rupiah, maka ini sangatlah berarti, inilah birrun.
HASANUN (حَسَنٌ) adalah kebaikan yang membuat tiada apapun dan siapapun antara kita dengan Allah Ta'ala. Benar-benar melakukan segalanya hanya karena Allah.
JAYYID (جَيِّدٌ) adalah kebaikan yang biasanya ditujukan kepada sebuah hadist. Bila dikatakan suatu hadits yang jayyid atau semisal hadits ini jayyid, maka hal ini dimaksudkan bahwa hadits demikian memiliki sanad yang baik, tidak begitu lemah, dan tidak pula syadz atau ganjil.
THAYYIB (طَيِّبٌ) kata thayyib menurut
al-Isfahani, menunjukkan sesuatu yang benar-benar baik. Bentuk jamak dari kata
ini adalah thayyibât yang diambil dari derivasi thaba-yathibu-thayyib-thayyibah
dengan beberapa makna, yaitu: zaka wa thahara (suci dan bersih), jada
wa hasuna (baik dan elok), ladzdza (enak), dan halal (halal).
Dalam
al-Qur’an, kata thayyib ini disebutkan salah satunya terkait dalam hal
makanan, al-Qur’an menyebutkan kata thayyiban dengan diawali kata halalan
dalam bentuk mufrad mudzakkar (laki-laki tunggal) sebanyak empat kali
untuk menjelaskan sifat makanan yang halal sebagaimana yang terdapat dalam
Surah al-Baqarah: 168.
Sedangkan yang dimaksud dengan
kejahatan adalah kebalikan dari kebaikan itu sendiri.Kejahatan itu bisa
dikatakan perbuatan yang keji (الفحشاء ) dan Mungkar
(الْمُنكَرِ). Abdullah Ar-Rojihi dalam kitabnya Al Qoulul bayyin Al Adhhar
fiddakwah menyebutkan bahwa Munkar (الْمُنكَرِ) adalah setiap amalan/ tindakan yang
dilarang oleh syariat Islam, tercela di dalamnya yang mencakup seluruh
kemaksiatan dan bid’ah, yang semua itu diawali oleh adanya kemusyrikan. Ada juga
yang mengatakan bahwa Munkar (الْمُنكَرِ) adalah kumpulan kejelekan, apa yang
diketahui jelek oleh syariat dan akal, kemusyrikan, menyembah patung dan
memutus hubungan silaturrahmi. Sedangkan yang dimaksud perbuatan keji atau
Al-Fahsya’ (الفحشاء ) adalah suatu sikap/amalan yang buruk, jelek, jorok, cabul,
kikir, bakhil, kata-kata kotor, kata yang tidak bisa diterima oleh akal sehat,
dan kata fail/ pelakunya diartikan zina. (Kamus Al Munawwir : hal. 1113).
Berikut ini Pengertian kebaikan dan kejahatan
dalam konsep Al-Qur’an:
1. Surah Al-An’am : 160
مَنْ جَاءَ
بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلا
يُجْزَى إِلا مِثْلَهَا وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ
Artinya: “Barang siapa mengerjakan sesuatu kebajikan,
maka (pembalasan) baginya sepuluh ganda kebajikan. Barang siapa melakukan
kejahatan (kemaksiatan), maka tidak diberi pembalasan kecuali sesuai (seimbang)
dengan apa yang dilakukannya. Mereka sedikitpun tidak dianiaya (dizalimi)”
Tafsir ayat :
Kata Hasanah
pada ayat tersebut adalah kebaikan yang
menghasilkan pahala. Pahala akan kekal seperti halnya kebaikan. Ayat ini
berceritakan tentang kemutlakan rahmat Allah, sesuai dengan hadist qudsi
berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ
صَلى الله عليه وسلم فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ
ذَلِكَ : فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ
يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا
فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَةَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ
ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا
كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا
كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً ” رواه البخاري ومسلم
Artinya :
Dari Ibnu Abbas radhiallahuanhuma, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam sebagaimana dia
riwayatkan dari Rabbnya Yang Maha Suci dan Maha Tinggi: “Sesungguhnya Allah telah
menetapkan kebaikan dan keburukan, kemudian menjelaskan hal tersebut : Siapa
yang ingin melaksanakan kebaikan kemudian dia tidak mengamalkannya, maka
dicatat disisi-Nya sebagai satu kebaikan penuh. Dan jika dia berniat
melakukannya dan kemudian melaksanakannya maka Allah akan mencatatnya sebagai
sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat bahkan hingga kelipatan yang
banyak. Dan jika dia berniat melaksanakan keburukan kemudian dia tidak
melaksanakannya maka baginya satu kebaikan penuh, sedangkan jika dia berniat
kemudian dia melaksanakannya Allah mencatatnya sebagai satu keburukan“.
(Riwayat Al Bukhari dan Muslim).
Dari hadist
tersebut dapat dipahami bahwa Allah
membalas satu kebaikan dengan sepuluh kali lipat atau digandakan sampai tujuh
ratus kali. Olehkarena itu setiap perbuatan harus diiringi dengan nilai
keikhlasan dalam pelaksanaanya. Allah membuat satu aturan yaitu satu kebaikan
dibalas dengan sepuluh kali lipat. Apabila diiringi dengan niat yang ikhlas
akan mencapai beberapa kali lipat lagi sesuai dengan kehendak-Nya.[11]
Dan jika manusia baru saja berniat
melakukan kejahatan, maka Allah tidak menghendaki dosa kepadanya, tetapi
jika manusia sudah melakukan kejahatan Allah akan memberikan pembalasan
kepadanya sesuai dengan kejahatannya.Sesungguhnya Allah maha adil.
2. Surah An-Nisa’ :79
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ
سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولا وَكَفَى بِاللَّهِ
شَهِيدًا
Artinya : Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah
dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu
sendiri. kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah
Allah menjadi saksi.
Tafsir ayat:
Ayat ini menegaskan sisi upaya manusia yang
berkaitan dengan sebab dan akibat. Hukum-hukum alam dan kemasyrakatan cukup
banyak dan beraneka ragam. Dampak baik dan dampak buruk untuk setiap gerak dan
tindakan telah ditetapkan Allah melalaui hukum-hukum tersebut, manusia diberi
kemampuan memilah dan memilih, dan masing-masing akan mendapatkan hasil
pilihannya. Allah sendiri melalui perintah dan larangan-Nya menghendaki, bahkan
menganjurkan kepada manusia agar meraih kebaikan dan nikmat-Nya, karena itu
ditegaskan-Nya bahwa, apa saja nikmat
yang engkau peroleh, wahai Muhammad dan semua manusia, adalah dari Allah, yakni Dia yang mewujudkan anugerah-Nya, dan apa saja bencana yang menimpamu, engkau
wahai Muhammad dan siapa saja selain kamu, maka
bencana itu dari kesalahan dirimu sendiri, karena Kami mengutusmu tidak
lain hanya menjadi Rasul untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan Allah kepada
segenap manusia, kapan dan di mana pun mereka berada. Kami mengutusmu hanya
menjadi Rasul, bukan seorang yang dapat menentukan baik dan buruk sesuatu sehingga
bukan karena terjadinya bencana atau keburukan pada masamu kemudian dijadikan
bukti bahwa engkau bukan Rasul. Kalaulah mereka menduga demikian, biarkan saja.
Dan cukuplah Allah menjadi saksi atas
kebenaranmu.
Ayat diatas secara
redaksional ditujukan kepada Rasulullah saw., tetapi kandungannya terutama
ditujukan kepada mereka yang menyatakan bahwa keburukan bersumber dari Nabi
atau karenakesialan yang menyertai beliau. Pengarahan redaksi ayat ini kepada
Nabi membuktikan bahwa kalau beliau yang sedemikian dekat dengan kedudukannya
di sisi Allah serta sedemikian kuat ketakwaannya kepada Allah tetap tidak dapat
luput dari sunnatullah dan takdir-Nya, maka tentu lebih-lebih yang lain. Allah
tidak membedakan seseorang dari yang lain dalam hal sunnatullah ini.[12]
Setiap kebaikan yang diperoleh oleh orang mukmin, sesungguhnya berasal dari
karunia dan kemurahan Allah, di ayat ini ada dua hal yang perlu diketahui :
·
Bahwa segala sesuatu
yang berasal dari sisi Allah, dalam arti bahwa Dialah yang menciptakan segala
sesuatu dan menggariskan aturan-aturan.
·
Manusia terjerumus
kedalam keburukan tidak lain disebabkan dia lalai untuk mengetahui
sunnah-sunnah. Sesuatu dikatakan buruk, sebenarnya disebabkan oleh tindakan
manusia itu sendiri.
Berdasarkan pandangan
ini, maka kebaikan berasal dari karunia Allah secara mutlak, dan keburukan
berasal dari diri manusia sendiri secara mutlak. Masing-masing dari dua
kemutlakan ini mempunyai posisi pembicaraan tersendiri. Telah banyak dasar yang
menyatakan bahwa ketaatan kepada Allah merupakan salah satu sebab mendapatkan
nikmat, dan bahwa kedurhakaaan kepadanya merupakan salah satu jalan yang
mendatangkan kesengsaraan. Ketaatan kepadanya adalah mengikuti
sunnah-sunnah-Nya dan menggunakan jalan-jalan yang telah diberi-Nya pada tempat
mestinya.
3.Surah Al-Ankabut 45
اُتْلُ مَآ
اُوحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَاَقِمِ الصَّلَوةَ صلى اِنَّ
الصَّلَوةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِقلى وَلَذِكْرُ
اللهُ اَكْبَرُقلى وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
Artinya : Dan tegakkanlah olehmu sholat ! Sesungguhnya
sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar, dan sesungguhnya
dzikir kepada Alloh itu lebih besar (keutamaan dan pengaruhnya bagi setiap
pribadi insan), dan Alloh Maha Mengetahyi apa yang kamu kerjakannya. (Q.S. 29
Al ‘Ankabut : 45).
Tafsir ayat dalam Tafsir Al-Mishbah:
Kata ( اتل ) ‘utlu’ terambil dari kata ( تلاوة ) ‘tilawah’ yang pada mulanya berarti
mengikuti. Seorang yang membaca adalah seorang yang hati atau lidahnya
mengikuti apa yang terhidang dari lambang-lambang bacaan, misalnya aba (kita
membaca huruf satu demi satu hingga lahirlah bacaan aba). Al-Qur’an membedakan
penggunaan kata ini dengan dengan kata ( قراة ) ‘qiraah’ yang juga mengandung
pengertian yang sama. Kata tilawah, jika yang dmaksud adalah membaca, maka
objek bacaan adalah sesuatu yang agung dan suci, atau benar. Sedangkan qiraah,
maka objeknya lebih umum, mencakup yang suci atau tidak suci, kandungannya
boleh jadi positif atau negatif. Oleh karena objek di atas adalah wahyu, maka
dari itu ayat ini menggunakan kata utlu yang artinya ikuti –secara
harfiah—untuk mengisyaratkan bahwa apa yang dibaca itu hendaknya diikuti dengan
pengamalan.
Kata ( الفحشاء ) ‘al-fahsya`a’ terulang di dalam
al-Quran sebanyak 7 kali. Sedang kata munkar terulang sebanyak 15 kali.
Menurut kamus bahasa al-Qur’an, al-fahsya`a terambil dari akar yang
pada mulanya berarti sesuatu yang melampaui batas dalam keburukan dan kekejian,
baik ucapan maupun perbuatan.
Kata ( المنكر ) ‘al-munkar’ pada mulanya berarti
sesuatu yang tidak dikenal sehingga diingkari dalam arti tidak disetujui.
Itulah sebabnya al-Quran memperhadapkan kata ‘mungkar’ dengan kata ‘ma’ruf’
yang berarti dikenal. Sementara ulama mendefinisikan kata-kata munkar,
dari segi pandangan syariat adalah segala sesuatu yang melanggar norma-norma
agama dan adat istiadat satu masyarakat. Dari definisi ini kata munkar
lebih luas pengertiannya dari kata ma’shiyat/maksiat. Dari ayat yang
menggandengkan kata al-fahsya’ dan al-munkar
dapat disimpulkan bahwa Allah melarang manusia melakukan segala macam kekejian
dan pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, dan shalat mempunyai peranan
yang sangat besar dalam mencegah kedua bentuk keburukan itu bila dilaksanakan
secara sempurna dan bersinambung.
Menurut
Ibn ‘Asyur, kata ( تنهى ) tanha/melarang lebih tepat dipahami
dalam arti majdzi,
sehingga ayat ini mempersamakan apa yang dikandung oleh shalat, dengan
“larangan”, dan mempersamakan shalat dengan segala kandungan dan substansinya
dengan seorang yang melarang. Shalat mengandung sekian banyak hal yang
mengingatkan kepada Allah, sehingga shalat merupakan pemberi ingat kepada yang
shalat. Shalatlah yang nantinya melarang melakukan pelanggaran yang tidak
diridhoi Allah. Karena itu pada ayat ini tidak menggunakan kata ( يصدّ ) yashuddu/membendung
dan tidak pula menggunakan kata ( يحول ) yahulu/meghalangi,
tetapi menggunakan kata ( ينهى ) yanha/melarang. Dan karena itulah
waktu shalat diatur berbeda-beda agar berulang-ulang shalat tersebut melarang,
menasihati dan mengingatkan, dan sebanyak pengulangannya sebanyak itu pula
tambahan kesan ketakwaan dalam hati pelakunya serta sebanyak itu pula kejauhan
jiwanya dari kedurhakaan.
Di dalam al-Qur’an tidak ditemukan satu perintah
melaksanakan shalat atau pujian kepada yang melaksanakan kegiatan yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri salam itu, kecuali dibarengi dengan kata ( اقيموا ) aqimu atau yang seakar dengannya. Sedangkan
jika berbicara tentang mereka yang mendustakan agama wajarlah jika mendapatkan
neraka, ditunjukkannya orang-orang shalat itu dengan kata ( المصلّين ) al-mushallin. Kata
yang pertama itu mengandung makna mengerjakan shalat secara berkesinambungan
dan menaati syarat-syaratnya serta rukun-rukunnya. Sedangkan kata yang kedua
maksudnya adalah kalaupun mengerjakan shalat, tetapi shalat mereaka tidak
khusyu’ sehingga tidak sempurna dan tidak mengikuti syarat serta rukunnya.
Kata ( ذكر ) dzikr
digunakan dalam arti potensi dalam diri manusia yang menjadikannya mampu
memelihara pengetahuan yang dimilikinya. Shalat dinamai dzikr karena dalam
shalat mengandung ucapan-ucapan serta ayat-ayat al-Qur’an yang harus diucapkan.
Tujuannya adalah untuk mengingat Allah. Ada yang memahami ayat ini dalam arti
sesungguhnya dzikir dan “ingatan” Allah terhadapmu lebih besar dan lebih banyak
daripada dzikir manusia kepada Allah. Ada juga yang memahami kata dzikir ini
dalam arti “mengingat semua perintah dan larangan Allah” sehingga maknanya
adalah pengawasan melekat yang mendorong kepada ketaatan secara sempurna. Yang terakhir adalah kata
( تصنعون ) tashna’un digunakan untuk menunjuk
perbuatan yang dilakukan seseorang yang mahir dan terampil. Menurut al-Biqa’i,
shalat dan amal saleh memerlukan latihan kejiwaan dan pengulangan pengamalan
agar ia menjadi kebiasaan yang melekat.
KESIMPULAN
Dari uraian-uraian masalah yang telah
dipaparkan pemakalah dapat mengambil kesimpulan bahwa ibadah adalah tunduk,
patuh, dan mengikuti perintah Allah swt. Pada dasarnya fitrah manusia sejak
lahirnya adalah mengEsakan Allah swt. seperti yang terdapat dalam surah
Al-A’raf ayat 172. Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah mengandung suatu
pengertian tidak menolak suatu hukum Allah dan meminta sesuatu hanya kepada
Allah swt. Ibadah terdiri atas dua jenis yaitu :
·
Ibadah mahdhah
adalah ibadah yang waktu dan kadarnya telah
ditentukan oleh hukum syara’. Contohnya shalat, dan lain-lain.
·
Ibadah ghairu mahdhah adalah Ibadah yang waktu dan kadar pelaksanaanya tidak ditentukan oleh
hukum syara’. Contohnya sedekah, dan lain-lain.
Kebaikan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur,
bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia. Sedangkan yang dimaksud
kejahatan adalah kebalikan dari kebaikan itu sendiri. Jika kita melakukan
kebaikan maka Allah swt. membalas satu kebaikan kita dengan sepuluh kali lipat
atau digandakan sampai tujuh ratus kali jika kebaikan itu diiringi dengan niat
keikhlasan dalam pelaksanaanya.
Jika kita baru saja berniat melakukan kejahatan, maka
Allah swt. tidak menghendaki dosa kepada kita, tetapi jika kita sudah melakukan
kejahatan maka Allah awt. akan memberikan balasan kepada kita sesuai kejahatan
yang kita lakukan baik di dunia maupun di akhirat.Sesungguhnya Allah Maha Adil.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mahali,
Jalaludin dan Jalaludin as-Suyuti, Tafsir
Jalalain. Toha Putra: Semarang, 1997.
Ash-Shiddiqy,
Hasbi, Kuliah
Ibadah: Ibadah Ditinjau Dari segi Hukum dan Hikmah. Jakarta: Bulan Bintang, 1991
As-Suyuti, ad-Durr
al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr. Semarang
:Toha Putra, 1995
Hafsah, Fiqh.
Jakarta: Citapustaka Media Perintis, 2011
Kementrian Agam
RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid III. Jakarta: Lentera Abadi, 2010
Langgulung, Hasan, ,Beberapa
Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung
: PT.Al-a’rif,1980
Muhammad, Syekh
Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi.
Jakarta: Duta Azhar, 2006
Mushthafa,
Ahmad al-Maraghi, Tafsir al-maraghi. Semarang: Toha Putra, 1987
Shihab, M.
Quraish, tafsir Al- Mishbah volume 13. Jakarta: Lentera Hati, 2002
Syarifuddin,
Amir, Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana, 2003
(Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 1
102
[3] Hafsah, Fiqh (Jakarta:
Citapustaka Media Perintis, 2011), hal.4
[5]
Hasan Langgulung,Beberapa
Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung :PT.Al-
a’rif,1980),
hlm.2
[6]Kementrian Agama
RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid III
(Jakarta: Lentera Abadi,
2010), hal. 519-521
[7] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al- Mishbah (Jakarta: Lentera Hati,2002), hal. 207
[8] Ibid.hlm.208
[10]
Jalaludin al-Mahali dan Jalaludin
as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Toha Putra, Semarang, 1997, hal: 567
[11]Syekh
Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Tafsir
Sya’rawi (Jakarta: Duta
Azhar,2006),hal.554
[12]M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah
pesan,kesan,dan keserasian al-Quran Volume2
(Jakarta: Lentera hati, 2000), hal.497
No comments:
Post a Comment