BABI
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam makalah ini kami ingin mengungkap lebih jelas tentang Qaul
Shahabi yang berarti pendapat para shahabat sekaligus menerangkan bagaimana
kedudukannya dalam mengistinbatkan hukum. Kami juga menjelaskan beberapa contoh
dan macam-macam Qaul Shahabi serta kehujjahannya. Bagaimanapun juga,
para shahabat adalah orang-orang yang hidup dimasa Rasulullah SAW. Sudah barang
tentu mereka lebih mengetahui cara
hidup Rasulullah. Mereka selalu berbaur dengan Rasulullah, sering mengiringi
perjalanan beliau, sering menyaksikan dan mendengarkan beliau disaat beliau
menyampaikan pengajian. Mereka jugalah yang menyampaikan hadits-hadits
Rasulullah SAW, kepada generasi sesudah mereka. Terkadang para Shahabat berbeda
persi dalam menyampaikan hadits tersebut. Oleh sebab itu, apabila mereka tidak
menemukan dalil-dalil yang jelas dan tegas didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
tentang suatu kasus hukum, mereka berijtihad untuk menetapkan hukum tersebut.
Namun ijtihad itu tetap berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Adakalanya
ijtihad itu dilakukan secara bersama, dan
adakalanya ijtihad itu dilakukan secara perorangan. Demikian itu adalah
yang disebut dengan fatwa atau qaulus shahabi. Dalam hal ini para ulama
mujtahid berbeda pendapat tentang kedudukan dan kehujjahan Qaul Shahabi
tersebut. Inilah yang menjadi latar belakang dari penyusunan makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini akan dibicarakan beberapa permasalahan, sebagai
berikut:
a.
Apa yang dimaksud dengan Qaul
Shahaby?
b.
Bagaimana keadaan para
Sahabat setelah Rasulullah wafat?
c.
Sebutkan macam-macam dari
Qaul Shahaby?
d.
Bagaimana kehujjahan Qaul
Shahaby dan pandangan para Ulama?
e.
Sebutkan contoh dari Qaul
Shahaby?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi
salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqh yang ada di IAIN Sumatera Utara, selain
itu penulisan makalah ini juga bertujuan untuk:
a. Untuk
mengetahui apa pengertian dari Qaul Shahaby.
b. Untuk
mengetahui keadaan para Sahabat setelah Rasulullah wafat.
c. Untuk
mengetahui macam-macam Qaul Shahaby.
d. Untuk
mengetahui kehujjahan Qaul Shahaby dan pandangan para Ulama.
e. Untuk
mengetahui contoh Qaul Shahaby.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengetian
Qaul Shahaby
Kata “Qaul” adalah mashdar dari qaala-yaquulu
qaulan yang arti mashdar tersebut adalah “perkataan”. “Shahaby”
artinya adalah sahabat atau teman. Tetapi yang dimaksudkan disini adalah
sahabat Nabi atau yang pernah bertemu dengan Nabi dan mati dalam islam. Jadi
yang di maksud dengan “Qaulush Shahaby” disini adalah pendapat, atau fatwa para
shahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara
tegas didalam al-quran dan sunnah.
Qaul
shahaby dalam ilmu ushul fiqh adalah:
فَتَوَى الصَّحَا بِى بِا نْفِرَا دِهِ قَوْ لُهُ
“fatwa sahabat (Nabi) yang berbentuk ucapan dengan dasar
(pendapat) pribadinya.”[1]
Jadi perkataan atau fatwa hasil
ijtihad seorang sahabat Nabi tentang sesuatu hal yang berhubungan dengan hukum
syara’, dinamakan Qaul Shahaby atau Qaul Sahabat.
“Qaul Shahaby” pada sebagian kitab-kitab
Ushul Fiqh sering juga disebut dengan “Mazhab Sahabat”, tetapi perlu diketahui
bahwa hal itu bukanlah dimaksudkan sebagai Ijma’ sahabat (kesepakatan semua
sahabat terhadap suatu masalah).
B.
Keadaan
Para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat
Sewaktu Rasulullah
SAW masih hidup, semua masalah yang timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan
para sahabat kepada Rasul, dan Rasul memberikan jawaban dan penyelesaiannya.[2]
Tetapi setelah Rasulullah wafat, maka tampilan untuk memberi fatwa kepada ummat
Islam dan membentuk hukum untuk mereka, kelompok dari sahabat yang telah
mengenal fikih dan ilmu, dan merekalah yang lama mempergauli Rasulullah dan
telah memahami al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pula telah keluar
beberapa fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam. Sebagian para Tabi’in di
antara para Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in telah memperhatikan periwayatnya dan
pentadwinannya, sehingga di antara mereka ada yang mengkodifikasikannya bersama
sunnah-sunnah Rasul. Maka adkah fatwa-fatwa ini termasuk sumber-sumber
pembentukkan hukum yang disamakan dengan nash, sekira seorang Mujtahid itu
harus kembali kepadanya sebelum kembali kepada Qiyas, atau ia itu adalah hanya
pendapat perorangan yang bersifat ijtihad dan bukan hujjah atas ummat Islam.[3]
C.
Macam-macam
Qaul Shahaby
Para
ulama membagi qaul as-shahabi ke dalam beberapa macam, di
antaranya Dr. Abdul karim Zaedan yang membaginya ke dalam beberapa macam:
- Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad.
Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa
perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari
Nabi Saw. sangat besar. Sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk
dalam kategori As-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf.
Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Az-Zarkhasi dan beliau memberikan contoh
perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad,
seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham,
perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari
sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh
beberapa ulama As-Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah
permasalahan-permaslahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada
kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada
kebiasaan masing-masing.
- Perkataan Sahabat Yang Disepakati Oleh Sahabat Yang Lain.
Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena
masuk dalam kategori ijma’.
- Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya.
Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah,
karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat
bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
- Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri.
Qaul
as-shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan
di antara para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam
fiqh Islam. Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar menambahkan bahwa
perkataan yang berasal dari ijtihad seorang sahabat yang tidak diketahui
tersebarnya pendapat tersebut di antara para sahabat lainnya juga tidak
diketahui pula ada sahabat lain yang menentangnya dan perkataan tersebut tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada perkataan sahabat seperti ini
para ulama berbeda pendapat mengenai statusnya.[4]
D.
Kehujjahan
Qaul Shahaby dan Pandangan Para Ulama
Dari
uraian di atas, tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap
sebagai hujjah bagi ummat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa
dijangkau akal. Karena pendapat mereka narasumber langsung dari Rasulullah
SAW., seperti ucapan Aisyah: “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya
lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat
tenun”.
Keterangan
di atas tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat, namun
karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah SAW. maka dianggap sebagai sunnah
meskipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat.
Pendapat
sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa dijadikan hujjah oleh
ummat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan
dengan zaman Rasulullah SAW. mereka juga mengetahui tentang rahasia-rahasia
syari’at dan kejadian-kejadian lain yang bersumber dari dalil-dalil yang
qath’i. Seperti kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk nenek yang
mendapat bagian seperenam. Ketentuan tersebut wajib diikuti karena, tidak
diketahui perselisihan dari Ummat islam.
Adanya
perselisihan biasanya terjadi pada ucapan sahabat yang keluar dari pendapatnya
sendiri sebelum ada kesepakatan dari sahabat yang lain. Abu Hanifah menyetujui
pernyataan tersebut berkata: “Apabila saya tidak mendapati (hukum) dalam
kitabullah dan juga tidak mendapati dalam sunnah Rasulullah, maka saya
menganmbil pendapat sahabat Rasul yang saya kehendaki pula, kemudian saya
meninggalkan pendapat orang yang tidak saya kehendaki pula, kemudian saya tidak
keluar dari pendapat mereka pada selainnya”.[5]
Dengan
demikian, Abu Hanifah tidak memandang pendapat seseorang tertentu di antara sahabat
sebagai hujjah. Jadi dia bisa mengambil pendapat seseorang di antara sahabat yang
dia kehendaki, tetapi dia tidak memperkenankan menentang pendapat-pendapat
mereka secara keseluruhan. Dia juga tidak memperkenankan melakukan Qiyas
terhadap suatu peristiwa, bahkan dalam satu peristiwa dia mengambil pendapat
mana saja di antara pendapat mereka. Barangkali dari sudut pendirian Abu
Hanifah bahwa mengenai perselisihan sahabat mengenai hukum suatu kejadian
kepada dua pendapat adalah ijma di antara mereka, maka dalam hukum itu berarti
tidak ada pendapat yang ketiga (artinya hanya ada dua pendapat saja, PTR), dan
perselisihan mereka kepada tiga pendapat adalah ijma di antara mereka bahwa
hukum itu berarti tidak ada pendapat yang keempat (artinya hanya ada tiga
pendapat saja), maka keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan adalah
berarti keluar dari ijma mereka.
Sedangkan kata-kata Imam Syafi’i
yang jelas, yaitu bahwa beliau tidak memandang pendapat seseorang tertentu di
antara mereka adalah hujjah, dan beliau memperkenankan menentang pendapat
mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad mengenai istinbath pendapat
lain, karena pendapat mereka itu adalah pendapat ijtihad secara perorangan dari
orang-orang yang tidak ma’shum. Sebagaimana sahabat itu boleh menentang
(pendapat) sahabat lain, berarti juga para Mujtahid sesudahnya boleh menentang
mereka. Oleh karena itulah Imam Syafi;’i berkata: “Tidak boleh menjatuhkan
hukum atau memberi fatwa kecuali dari sisi berita yang positif, yaitu al-Kitab
dan al-Sunnah”. Atau dari pendapat yang disepakati oleh para ilmuwan yang
mereka tidak berselisih di dalamnya atau berkhiyas dalam sebagiannya.
Tentang
qaul sahabat, terdapat hal-hal yang disepakati oleh para ulama dan terdapat pula
yang diperselisihkan yaitu:
1.
Hal yang disepakati oleh
ulama adalah, bahwa pendapat sahabat atau qaul sahabat tidaklah menjadi hujjah
bagi sahabiat lainnya. Seperti qaul Ibnu Umar tidak menjadi hujjah bagi Ibnu
Abbas, qaul Abu Bakar tidak menjadi hujjah bagi Umar bin Khattab demikian juga
sebaliknya.
2.
Hal-hal yang diperselisihkan
adalah, tentang boleh atau tidaknya qaul sahabat dijadikan hujjah bagi tabi’in
atau orang-orang yang sesudahnya. Dalam hal ini tervagi pada dua pendapat:
a.
Jumhur Ulama berpendapat
bahwa qaul sahabat tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetukan hukum syara’,
baik bagi sahabat yang lainnya, tabi’in ataupun orang-orang yang sesudahnya.
b.
Sebagian ulama lainnya
berpendapat bahwa. Qaul sahabat boleh dijadikan hujjah untuk tabi’in dan
orang-orang yang sesudahnya. Sementara itu mereka mensyaratkan bahwa tidak
boleh bertentangan dengan qiyas.
Dengan
demikian perselisihan pendapat para ulama dalam hal boleh atau tidaknya
berhujjah dengan qaul sahabat dalam menetapkan hukum. Dan dapat disimpulkan
bahwa, karena qaul sahabat semata-mata pendapat atau hasil ijtihad, maka qaul
sahabat tidaklah dapat dijadikan hujjah dalam menentukan hukum syara’ kecuali
jelas-jelas didasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadis atau As-Sunnah yang sah.[6]
E.
Contoh
Qaul Shahaby
Adapun
contoh dari qaul shahaby, yaitu:
1. Fatwa Aisyah yang menjelaskan batas maksimal
kehamilan seorang wanita adalah 2 (dua) tahun melalui ungkapannya “Anak tidak
berada didalam perit ibunya lebih dari dua tahun”.
2. Fatwa
anas bin malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3 (tiga)
hari.
3. Fatwa
umar bin khath-thab tentang laki-laki yang menikahi wanita dalam masa ‘idah
harus dipisahkan, dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut untuk
selamanya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Qaul
Shahabi adalah pendapat para sahabat tentang kasus hukum yang belum ditegaskan
dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Setelah Rasulullah wafat maka tampillah untuk
memberi fatwa kepada ummat Islam dan membentuk hukum untuk mereka, kelompok
dari sahabat yang telah mengenal fiqih dan ilmu, dan merekalah yang lama
mempergauli Rasulullah dan telah memahami al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Tidak
diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi ummat
Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau akal. Contohnya, Fatwa
Aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah 2 (dua)
tahun melalui ungkapannya “Anak tidak berada didalam perit ibunya lebih dari
dua tahun”.
DAFTAR
PUSTAKA
Djalil,
Basiq, Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2010
Khallaf, Abdul, Kaidah—kaidah Islam Ilmu
Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali,
1989
Said, Yusuf, Ushul Fiqh. Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2010
Sulaiman, Muhammad Abdullah Al-Asyqar, Al-wadhih
Fu Ushul Fiqh.
Dar-Al-Nafais, 2001
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh.
Bandung: Pustaka Setia, 2010
[2]
Drs. H. M. Yusuf Said, MA., Ushul Fiqh (Bandung: Citapustaka Media
Perintis, 2010), hal. 66
[3]
Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia,
2010), hal. 141
[4]
Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar,DR. Al-wadhih Fu Ushul Fiqh, Dar-Al-Nafais,
2001, Hal. 134-135
[5]
Prof. Dr. Abdul khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta:
Rajawali), hal. 145
[6]
Drs. H. A.
Basiq Djalil, S.H., M.A., Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.
164-165
No comments:
Post a Comment