Monday, 3 June 2013

USHUL FIQH: QIYAS


BABI
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah
Dalam makalah ini kami ingin mengungkap lebih jelas tentang Qaul Shahabi yang berarti pendapat para shahabat sekaligus menerangkan bagaimana kedudukannya dalam mengistinbatkan hukum. Kami juga menjelaskan beberapa contoh dan macam-macam Qaul Shahabi serta kehujjahannya. Bagaimanapun juga, para shahabat adalah orang-orang yang hidup dimasa Rasulullah SAW. Sudah barang tentu mereka lebih mengetahui cara hidup Rasulullah. Mereka selalu berbaur dengan Rasulullah, sering mengiringi perjalanan beliau, sering menyaksikan dan mendengarkan beliau disaat beliau menyampaikan pengajian. Mereka jugalah yang menyampaikan hadits-hadits Rasulullah SAW, kepada generasi sesudah mereka. Terkadang para Shahabat berbeda persi dalam menyampaikan hadits tersebut. Oleh sebab itu, apabila mereka tidak menemukan dalil-dalil yang jelas dan tegas didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang suatu kasus hukum, mereka berijtihad untuk menetapkan hukum tersebut. Namun ijtihad itu tetap berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Adakalanya ijtihad itu dilakukan secara bersama, dan  adakalanya ijtihad itu dilakukan secara perorangan. Demikian itu adalah yang disebut dengan fatwa atau qaulus shahabi. Dalam hal ini para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang kedudukan dan kehujjahan Qaul Shahabi tersebut. Inilah yang menjadi latar belakang dari penyusunan makalah ini.

B.            Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibicarakan beberapa permasalahan, sebagai berikut:
a.      Apa yang dimaksud dengan Qaul Shahaby?
b.      Bagaimana keadaan para Sahabat setelah Rasulullah wafat?
c.       Sebutkan macam-macam dari Qaul Shahaby?
d.     Bagaimana kehujjahan Qaul Shahaby dan pandangan para Ulama?
e.      Sebutkan contoh dari Qaul Shahaby?

C.           Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqh yang ada di IAIN Sumatera Utara, selain itu penulisan makalah ini juga bertujuan untuk:
a.      Untuk mengetahui apa pengertian dari Qaul Shahaby.
b.      Untuk mengetahui keadaan para Sahabat setelah Rasulullah wafat.
c.       Untuk mengetahui macam-macam Qaul Shahaby.
d.     Untuk mengetahui kehujjahan Qaul Shahaby dan pandangan para Ulama.
e.      Untuk mengetahui contoh Qaul Shahaby.



BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengetian Qaul Shahaby
Kata “Qaul” adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan yang arti mashdar tersebut adalah “perkataan”. “Shahaby” artinya adalah sahabat atau teman. Tetapi yang dimaksudkan disini adalah sahabat Nabi atau yang pernah bertemu dengan Nabi dan mati dalam islam. Jadi yang di maksud dengan “Qaulush Shahaby” disini adalah pendapat, atau fatwa para shahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam al-quran dan sunnah.
Qaul shahaby dalam ilmu ushul fiqh adalah:
فَتَوَى الصَّحَا بِى بِا نْفِرَا دِهِ قَوْ لُهُ
“fatwa sahabat (Nabi) yang berbentuk ucapan dengan dasar (pendapat) pribadinya.”[1]
            Jadi perkataan atau fatwa hasil ijtihad seorang sahabat Nabi tentang sesuatu hal yang berhubungan dengan hukum syara’, dinamakan Qaul Shahaby atau Qaul Sahabat.
            “Qaul Shahaby” pada sebagian kitab-kitab Ushul Fiqh sering juga disebut dengan “Mazhab Sahabat”, tetapi perlu diketahui bahwa hal itu bukanlah dimaksudkan sebagai Ijma’ sahabat (kesepakatan semua sahabat terhadap suatu masalah).


B.            Keadaan Para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat
Sewaktu Rasulullah SAW masih hidup, semua masalah yang timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada Rasul, dan Rasul memberikan jawaban dan penyelesaiannya.[2] Tetapi setelah Rasulullah wafat, maka tampilan untuk memberi fatwa kepada ummat Islam dan membentuk hukum untuk mereka, kelompok dari sahabat yang telah mengenal fikih dan ilmu, dan merekalah yang lama mempergauli Rasulullah dan telah memahami al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pula telah keluar beberapa fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam. Sebagian para Tabi’in di antara para Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in telah memperhatikan periwayatnya dan pentadwinannya, sehingga di antara mereka ada yang mengkodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul. Maka adkah fatwa-fatwa ini termasuk sumber-sumber pembentukkan hukum yang disamakan dengan nash, sekira seorang Mujtahid itu harus kembali kepadanya sebelum kembali kepada Qiyas, atau ia itu adalah hanya pendapat perorangan yang bersifat ijtihad dan bukan hujjah atas ummat Islam.[3]







C.           Macam-macam Qaul Shahaby
Para ulama membagi qaul as-shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya Dr. Abdul karim Zaedan yang membaginya ke dalam beberapa macam:
  1.  Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad.
Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi Saw. sangat besar. Sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori As-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf.  Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Az-Zarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad, seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama As-Syafi’iyah,  bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permaslahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.
  1. Perkataan Sahabat Yang Disepakati Oleh Sahabat Yang Lain.
Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
  1. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya.
Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
  1. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri
Qaul as-shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam. Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar menambahkan bahwa perkataan yang berasal dari ijtihad seorang sahabat yang tidak diketahui tersebarnya pendapat tersebut di antara para sahabat lainnya juga tidak diketahui pula ada sahabat lain yang menentangnya dan perkataan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada perkataan sahabat seperti ini para ulama berbeda pendapat mengenai statusnya.[4]

D.           Kehujjahan Qaul Shahaby dan Pandangan Para Ulama
Dari uraian di atas, tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi ummat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau akal. Karena pendapat mereka narasumber langsung dari Rasulullah SAW., seperti ucapan Aisyah: “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.
Keterangan di atas tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah SAW. maka dianggap sebagai sunnah meskipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat.
Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa dijadikan hujjah oleh ummat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW. mereka juga mengetahui tentang rahasia-rahasia syari’at dan kejadian-kejadian lain yang bersumber dari dalil-dalil yang qath’i. Seperti kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian seperenam. Ketentuan tersebut wajib diikuti karena, tidak diketahui perselisihan dari Ummat islam.
Adanya perselisihan biasanya terjadi pada ucapan sahabat yang keluar dari pendapatnya sendiri sebelum ada kesepakatan dari sahabat yang lain. Abu Hanifah menyetujui pernyataan tersebut berkata: “Apabila saya tidak mendapati (hukum) dalam kitabullah dan juga tidak mendapati dalam sunnah Rasulullah, maka saya menganmbil pendapat sahabat Rasul yang saya kehendaki pula, kemudian saya meninggalkan pendapat orang yang tidak saya kehendaki pula, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka pada selainnya”.[5]
Dengan demikian, Abu Hanifah tidak memandang pendapat seseorang tertentu di antara sahabat sebagai hujjah. Jadi dia bisa mengambil pendapat seseorang di antara sahabat yang dia kehendaki, tetapi dia tidak memperkenankan menentang pendapat-pendapat mereka secara keseluruhan. Dia juga tidak memperkenankan melakukan Qiyas terhadap suatu peristiwa, bahkan dalam satu peristiwa dia mengambil pendapat mana saja di antara pendapat mereka. Barangkali dari sudut pendirian Abu Hanifah bahwa mengenai perselisihan sahabat mengenai hukum suatu kejadian kepada dua pendapat adalah ijma di antara mereka, maka dalam hukum itu berarti tidak ada pendapat yang ketiga (artinya hanya ada dua pendapat saja, PTR), dan perselisihan mereka kepada tiga pendapat adalah ijma di antara mereka bahwa hukum itu berarti tidak ada pendapat yang keempat (artinya hanya ada tiga pendapat saja), maka keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan adalah berarti keluar dari ijma mereka.
            Sedangkan kata-kata Imam Syafi’i yang jelas, yaitu bahwa beliau tidak memandang pendapat seseorang tertentu di antara mereka adalah hujjah, dan beliau memperkenankan menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad mengenai istinbath pendapat lain, karena pendapat mereka itu adalah pendapat ijtihad secara perorangan dari orang-orang yang tidak ma’shum. Sebagaimana sahabat itu boleh menentang (pendapat) sahabat lain, berarti juga para Mujtahid sesudahnya boleh menentang mereka. Oleh karena itulah Imam Syafi;’i berkata: “Tidak boleh menjatuhkan hukum atau memberi fatwa kecuali dari sisi berita yang positif, yaitu al-Kitab dan al-Sunnah”. Atau dari pendapat yang disepakati oleh para ilmuwan yang mereka tidak berselisih di dalamnya atau berkhiyas dalam sebagiannya.
Tentang qaul sahabat, terdapat hal-hal yang disepakati oleh para ulama dan terdapat pula yang diperselisihkan yaitu:
1.      Hal yang disepakati oleh ulama adalah, bahwa pendapat sahabat atau qaul sahabat tidaklah menjadi hujjah bagi sahabiat lainnya. Seperti qaul Ibnu Umar tidak menjadi hujjah bagi Ibnu Abbas, qaul Abu Bakar tidak menjadi hujjah bagi Umar bin Khattab demikian juga sebaliknya.
2.      Hal-hal yang diperselisihkan adalah, tentang boleh atau tidaknya qaul sahabat dijadikan hujjah bagi tabi’in atau orang-orang yang sesudahnya. Dalam hal ini tervagi pada dua pendapat:
a.      Jumhur Ulama berpendapat bahwa qaul sahabat tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetukan hukum syara’, baik bagi sahabat yang lainnya, tabi’in ataupun orang-orang yang sesudahnya.
b.      Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa. Qaul sahabat boleh dijadikan hujjah untuk tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya. Sementara itu mereka mensyaratkan bahwa tidak boleh bertentangan dengan qiyas.
Dengan demikian perselisihan pendapat para ulama dalam hal boleh atau tidaknya berhujjah dengan qaul sahabat dalam menetapkan hukum. Dan dapat disimpulkan bahwa, karena qaul sahabat semata-mata pendapat atau hasil ijtihad, maka qaul sahabat tidaklah dapat dijadikan hujjah dalam menentukan hukum syara’ kecuali jelas-jelas didasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadis atau As-Sunnah yang sah.[6]

E.            Contoh Qaul Shahaby
Adapun contoh dari qaul shahaby, yaitu:
1. Fatwa Aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah 2 (dua) tahun melalui ungkapannya “Anak tidak berada didalam perit ibunya lebih dari dua tahun”.
2.    Fatwa anas bin malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3 (tiga) hari.
3.    Fatwa umar bin khath-thab tentang laki-laki yang menikahi wanita dalam masa ‘idah harus dipisahkan, dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut untuk selamanya.




BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan   
Qaul Shahabi adalah pendapat para sahabat tentang kasus hukum yang belum ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Setelah Rasulullah wafat maka tampillah untuk memberi fatwa kepada ummat Islam dan membentuk hukum untuk mereka, kelompok dari sahabat yang telah mengenal fiqih dan ilmu, dan merekalah yang lama mempergauli Rasulullah dan telah memahami al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi ummat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau akal. Contohnya, Fatwa Aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah 2 (dua) tahun melalui ungkapannya “Anak tidak berada didalam perit ibunya lebih dari dua tahun”.



DAFTAR PUSTAKA

Djalil, Basiq, Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2010
Khallaf, Abdul, Kaidah—kaidah Islam Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali,
1989
Said, Yusuf, Ushul Fiqh. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010
Sulaiman, Muhammad Abdullah Al-Asyqar, Al-wadhih Fu Ushul Fiqh.
 Dar-Al-Nafais, 2001
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 2010


[1] Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 163.
[2] Drs. H. M. Yusuf Said, MA., Ushul Fiqh (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010), hal. 66
[3] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 141
[4] Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar,DR. Al-wadhih Fu Ushul Fiqh, Dar-Al-Nafais, 2001, Hal. 134-135
[5] Prof. Dr. Abdul khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali), hal. 145
[6] Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 164-165

No comments:

Post a Comment