Monday, 3 June 2013

TAFSIR IBADAH


KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
            Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji syukur atas rahmat dan ridho Allah swt. Karena tanpa rahmat dan ridho-Nya, kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Dan shalawat berserta salam kami kemas seindah-indahnya kepada nabi Muhammad saw.
Dalam proses pembelajaran mata kuliah tafsir ini kami mensajikan makalah yang membahas tentang ibadah, kebaikan dan kejahatan. Dalam makalah kami ini kami memaparkan tentang ibadah, kebaikan dan kejahatan melalui penafsiran ayat – ayat Al- qur’an yang membahasnya, melalui buku – buku tafsir yang menjadi rujukan bagi kami.
Mudah-mudahan Allah swt memberikan kemanfaatan atas makalah ini dan melimpahkan pertolongan dan kebenaran kepada kita semua serta menambah pengetahuan kita, khususnya dalam memahami apa yang kami paparkan dalam makalah ini.
Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Zulkifli Nasution, S.Pd.I, MA. yang telah memberikan tugas ini kepada kami yang mungkin menjadikan kami mahasiswa yang aktif dan pustakawan serta menambah pengetahuan bagi kami.
Medan, 16 Mei 2013
                                   
Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Memenuhi tugas makalah tafsir yang diberikan bapak Zulkifli Nasution, S.Pd.I, MA. serta rasa ingin tahu kami tentang ibadah, kebaikan, dan kejahatan.

1.2  RUMUSAN MASALAH
            Dalam makalah ini akan dibicarakan beberapa permasalahan, sebagai berikut:
a.       Apa yang dimaksud dengan ibadah dan hakikatnya?
b.      Bagaimana cara mengabdi kepada Allah swt sebagai fitrah manusia?
c.       Apa pokok-pokok ibadah kepada Allah swt ?
d.      Bagaimana kebaikan dan kejahatan dalam konsep Al-qur’an?

1.3  PEMBATASAN MASALAH
Dalam makalah kami ini membahas masalah-masalah di atas, hal ini bertujuan agar makalah ini bisa diterima baik dilihat dari segi Al-Quran sebagai pedoman umat Islam dan dari segi keilmuan sebagai bukti bahwa akal yang diberikan oleh Allah kepada manusia tidak sia-sia tapi digunakan untuk mengkaji kebesaran Allah swt.

1.4  TUJUAN PENULISAN
            Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah tafsir yang ada di IAIN Sumatera Utara, selain itu penulisan makalah ini juga bertujuan untuk:
a.       Mengetahui pengertian ibadah dan hakikatnya.
b.      Mengetahui cara mengabdi kepada Allah sebagai fitrah manusia.
c.       Mengetahui pokok-pokok ibadah kepada Allah swt.
d.      Dapat membedakan kebaikan dan kejahatan dalam konsep Al-qur’an.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Ibadah dan Hakikatnya

A.1. Pengertian Ibadah
Menurut lugat, ibadah berarti taat, mengikuti, dan tunduk. Ibadah dapat diartikan juga dengan tunduk yang setinggi-tingginya dan berdo’a.[1]
Tafsir surah Al-qur’an yang membahas tentang ibadah salah satunya adalah surah Al-Baqarah yang berbunyi:
 الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَ الَّذِيْنَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ   يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ
Artinya : Wahai manusia! Sembahlah olehmu akan Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu ter­pelihara.
Tafsir ayat:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ
Makna tafsir dari potongan ayat tersebut adalah Nabi saw. melalui da’wahnya menganjurkan kita melakukan penyembahan kepada allah swt, tidak hanya Nabi saw, tetapi Nabi yang lainnya juga melakukan hal tersebut, seperti firman allah yang berbunyi dalam surah an-nahl ayat 36:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Artinya: “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
Dakwah rasulullah saw pada umatnya pada mulanya ditujukan pada bangsa Arab dan Yahudi yang tinggal di madinah dan daerah sekitarnya. Sebenarnya, mereka itu beriman kepada Allah, tetapi tidak menyembahnya. Terkadang mereka mengikutsertakan selain Allah dalam hal penyembahan, atau memang menyembah selain Allah.
الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَ الَّذِيْنَ مِن قَبْلِكُمْ
Makna tafsir dari potongan ayat tersebut adalah sesungguhnya Allah yang maha agung dan memiliki sifat-sifat yang sebelumnya kamu ketahui, telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian. Allah juga yang memelihara kalian dan orang-orang yang sebelum kalian. Allah mengatur kepentinganmu, kemudian menganugerahkan sarana pengetahuan dan jalan menuju hidayah, seperti Allah menganugerahkan kepada orang-orang sebelum kalian. Karenanya, sembahlah Allah semata, jangan sekali-kali kalian menyekutukan-Nya dengan seseorang atau makhluk-makhluk-Nya.
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Makna tafsir dari potongan ayat tersebut adalah Sembahlah Allah sebagaimana semestinya, karena menyembah allah dengan cara yang semestinya itulah yang akan mengantarkan kalian kepada taqwa, dan meruakan harapan menuju kesempurnaan.[2]
Kedua terdapat dalam surah adz-dzariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Ayat diatas menyatakan: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia untuk satu manfaat yang kembali kepada diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas mereka adalah beribadah kepada-Ku.
            Huruf (
ل) atau lam pada kata (لِيَعْبُدُونِ) li ya’budun bukan berarti agar supaya mereka beribadah atau agar Allah disembah. Huruf lam disini dinamai oleh pakar pakar bahasa arab lam al-aqibah, yakni yang berarti kesudahan atau dampak dan akibat sesuatu.
Dikutip dalam tafsir Al-Misbah, Pada ayat tersebut Sayyid Quthub mengartikan ibadah  bukan hanya terbatas pada pelaksanaan tuntunan ritual, karena jin dan manusia tidak menghabiskan waktu mereka dalam pelaksanaan ibadah ritual. Allah tidak mewajibkan mereka melakukan hal tersebut tetapi Allah mewajibkan kepada mereka aneka kegiatan yang lain yang menyita sebagian besar hidup mereka.
B.2. Hakikat ibadah
            Ibadah ialah ketundukan yang timbul karena jiwa yang merasa cinta dan kebesaran-Nya, serta keyakinan akan ketentuan hukum-Nya. Dari beberapa pengertian ibadah, dapat dipahami bahwa adanya saling melengkapi hakikat ibadah itu sendiri. Jelasnya tidaklah dipandang seorang mukallaf telah beribadah dengan sempurna jika hanya mengerjakan ibadah-ibadah dalam pengertian fuqaha saja, tetapi perlu beribadah dengan yang dimaksudkan ulama tauhid atau ulama lainnya.
Oleh sebab itu, barulah didapati hakikat ibadah dan ruhnya yang selanjutnya berfungsi menggerakkannya. Hakikat ibadah mengandung suatu pengertian tidak menolak suatu hukum Allah dan meminta sesuatu yang hanya kepada-Nya.

اصل العبادة ان لا ترد من احكمهه شيئا ؤلا ثسئا ل الحاجة
Artinya : Pokok ibadah itu adalah engkau tidak menolak sesuatu hukum Allah, tidak meminta sesuatu hajat pada selain-Nya, dan tiada mau menahan sesuatu dijalan-Nya.[3]
            Selanjutnya, pokok ibadah itu adalah kita meridhai Allah selaku pengendali urusan, selaku orang yang memilih, meridha Allah sebagai pembagi, pemberi, dan penghalang rezeki manusia.
Dalam tafsir Al-Mishbah hakikat ibadah itu terdapat dalam surah Al-Furqan 77 yaitu:
قُلْ مَا يَعْبَئُوْا بِكُمْ رَبِّيْ لَوْلاَ دُعَاؤُكُمْ
Artinya: “Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): “Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu.
Dalam ayat tersebut dapat disimpulkan hakikat ibadah adalah menempatkan diri seseorang dalam kedudukan kerendahan dan ketundukkan serta mengarahkannya ke arah maqam Tuhannya.

B.  Mengabdi Kepada Allah Sebagai Fitrah Manusia
            Kata fitrah  secara bahasa adalah bentuk masdar linnau’/al-haiah dari sulasi mujarrad “fatr”.Jadi dapat dikatakan bahwa fitrah berasal dari bahasa arab yaitu “fatr”.Fitrah juga bisa dikatakan kejadian sejak semula, atau bawaan sejak lahir,[4]keadaan yang mula-mula yang asal atau asli, sifat naluri manusia atau sifa-sifat Tuhan yang menjadi potensi manusia sejak lahir,wahyu yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya.[5]
            Pada dasarnya fitrah manusia itu adalah mengesakan Allah seperti yang terdapat pada surah al-A’raf ayat 172 dibawah ini:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Tafsir ayat:
Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang janji yang dibuat pada waktu manusia dilahirkan dari rahim orang tua (ibu) mereka, secara turun-temurun, yakni Allah menciptakan manusia atas dasar fitrah. Allah menyuruh ruh mereka untuk menyaksikan susunan kejadian diri mereka yang membuktikan keesan-Nya, keajaiban proses penciptaan dari setetes air mani hingga menjadi manusia bertubuh sempurna, dan mempunyai daya tanggap indra, dengan urat nadi dan sistem urat syaraf yang mengagumkan, dan sebagainya. Berkata Allah kepada ruh manusia “Bukankah aku ini Tuhanmu?” maka menjawablah ruh manusia, “Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami telah menyaksikan.” Jawaban ini merupakan pengakuan ruh pribadi manusia sejak awal kejadiannya akan adanya Allah Yang Maha Esa, yang tiada Tuhan selain yang patut disembah kecuali Dia.
Dengan ayat ini Allah bermaksud menjelaskan kepada manusia, bahwa hakikat kejadian manusi itu didasari atas kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa. Sejak manusia itu dilahirkan dari rahim orang tua mereka, ia sudah menyaksikan tanda-tanda keesaan Allah pada kejadian mereka sendiri.
Penolakan terhadap ajaran Tauhid yang dibawa Nabi itu sebenarnya perbuatan yang berlawanan dengan fitrah manusia dan dengan suara hati nurani mereka. Karena itu tidaklah benar manusia pada hari Kiamat nanti mengajukan alasan bahwa mereka alpa, tak pernah diingatkan untuk mengesakan Allah. Fitrah mereka sendiri dan ajaran Nabi-nabi senantiasa mengingatkan mereka untuk mengesakan Allah dan menaati seruan Rasul serta menjauhkan diri dari syirik.[6]
            Pada surah Ar-Rum juga menjelaskan dasar fitrah manusia itu adalah agama islam dan mengesakan Allah.
Surah Ar-Rum ayat :30
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
Tafsir ayat:
            Pada kata (قاقم وجهك) fa aqim wajhaka maka hadapkanlah wajahmu yang dimaksud adalah perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan upaya menghadapkan diri kepada Allah secara sempurna karena selama ini kaum muslimin apalagi Nabi Muhammad saw telah menghadapkan wajah mereka kepada tuntunan agamanya.[7]
Pada kata (حنيفا) hanifan biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu. Kata ini pada mulanya digunakan untuk menggambarkan telapak kaki dan kemiringannya kearah telapak pasangannya. Yang kanan condong kearah kiri dan yang kiri condong kearah kanan. Ini menjadikan manusia dapat berjalan dengan lurus.
            Pada kata (فطرة) fithrah terambil dari kata fathara yang berarti mencipta. Sementara pakar menambah fithrah adalah “ Mencipta sesuatu pertama kali/tanpa ada contoh sebelumnya”  dengan demikian, kata tersebut dapat juga dipahami asal kejadian atau bawaan sejak lahir.[8]
     Pada kata فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا (tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu). Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia.
Menurut sebagian mufasir, kata fithrah Allâh berarti kecenderungan dan kesediaan manusia terhadap agama yang haq. Sebab, fitrah manusia diciptakan Allah Swt. untuk cenderung pada tauhid dan dîn al-Islâm sehingga manusia tidak bisa menolak dan mengingkarinya.
Sebagian mufassir lainnya seperti Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Ibnu Syihab memaknainya dengan Islam dan Tauhid. Ditafsirkannya fitrah dengan Islam karena untuk fitrah itulah manusia diciptakan.[9] Menurut Al-Biqa’i yang dimasuk dengan fitrah adalah ciptaan pertama dan tabi’at awal yang Allah ciptakan manusia atas dasarnya. Ia mengutip tulisan imam Al-Ghazali dalam ihya’ ulum ad-Din bahwa “setiap manusia telah diciptakan atas dasar keimanan kepada Allah bahkan atas potensi mengetahui persoalan-persoalan sebagaimana adanya, yakni bagaikan tercakup dalam dirinya karena adanya potensi pengetahuan ( padanya)”.
Al- Biqa’i menjelaskan maksud Al-Ghazali bahwa yang dimaksud adalah kemudahan mematuhi ( perintah Allah ) serta keluhuran budi pekerti yang merupakan cerminan dari fitrah Islam. Pandangan ini dibuktikan oleh Biqa’i melalui pengamatan terhadap anak-anak. Mereka semua memiliki perangai yang lurus serta kemudahan mematuhi petunjuk yang jelas tidak seperti orang dewasa, walaupun mereka bertingkat-tingkat dalam hal ini. Dengan demikian, tulis Al – Baqa’i yang dimaksud dengan fitrah adalah penerimaan kebenaran dan kemantapan mereka dalam penerimaanya.
Dalam tafsir jalalain disebutkan penafsiran surat ar-Rum ayat 30[10]

óOÏ%r'sù (Maka hadapkanlah) wahai Muhammad È $ZÿÏZym  ûïÏe$#Ï9  y7ygô_ur (wajahmu dengan lurus pada agama) maksudnya cendrungkanlah dirimu pada agama Allahyaitu dengan cara mengikhlaskan dirimu dan orang-orang yang mengikutimu di dalam menjalankan agamanya |!$# NtôÜÏù «(fitrah Allah) ciptaanya t$pköŽn=tæ }¨$¨Z9$# sÜsù ÓÉL©9$#  (yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu) yaitu agamanya maka yang dimaksud ialah, tetaplah atas fitrah atau agama AllahŸ «!$# È,ù=yÜÏ9  Ÿ@ƒÏö7s?w (tidak ada perubahan pada fitrah Allah) pada agamanya. Maksudnya jangan kalian mengantinya. Misalnya menyekutukan Allah dengan selain Allah. (itulah agama yang lurus) yaitu agama tauhid  Ĩ$¨Z9$#  ŽsYò2r& ÆÅ3»s9ur u (tetapi kebanyakan manusia) yaitu orang-orang ŸbqßJn=ôètƒw (tidak mengetahui) ketauhitan atau keesaan Allah.

C.    Pokok-pokok ibadah pada Allah swt.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Tafsir ayat:
Ayat diatas menyatakan: dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia untuk satu manfaat yang kembali kepada diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas mereka adalah beribadah kepada-Ku.
Pada ayat ini penekanannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, redaksi yang digunakan bentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi kesan adanya keterlibatan selain Allah swt.
Huruf (ل) pada kata لِيَعْبُدُونِ bukan berarti agar supaya agar mereka beribadah atau agar Allah disembah . لِيَعْبُدُونِ  pada ayat diatas, dinamai oleh pakar-pakar bahasa lam al-‘aqibah, yang berarti kesudahan atau dampak akibat sesuatu.
Ibadah bukan hanya sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dan jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ia juga merupakan dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya.
Pokok-pokok ibadah dalam surat Adz-dzariyat ayat 56 adalah :
1.      Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah ialah ibadah yang waktu dan kadarnya telah ditentukan oleh hukum syara’. Contohnya shalat, dan lain-lain.
2.      Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah yang waktu dan kadar pelaksanaanya tidak ditentukan oleh hukum syara’. Contohnya sedekah, dan lain-lain.

D.    Kebaikan dan Kejahatan dalam Konsep Al-Qur’an
 Kebaikan dalam bahasa arab bisa berupa Birrun, Sholihun, dll. Dimana makna dari masing-masing kata tersebut berbeda-beda yaitu sebagai berikut:
KHOIRON  (خَيْرٌ) adalah kebaikan yang menjadi pilihan, dan diperoleh dengan cara berjuang dan berusaha. Misal : berjuang mengkhatamkan Al Qur'an karena ada peraturan untuk mengkhatamkan (ini baik namun bukan khoiron), dan berjuang mengkhatamkan Al Qur'an karena pilihan kita sendiri (inilah kebaikan-khoiron).
MA'RUFUN ( مَعْرُوْف) adalah kebaikan yang terasa sampai ke hati, baik hatinya dan atau hati orang lain. Misal : memberi sumbangan dengan cara kurang baik yg tidak mengenakkan hati penerimanya (ini jenis kebaikan hanya sampai ke hatinya tp tidak ke hati orang lain-bukan ma'rufun). Memberi sumbangan dengan cara baik yang sampai dengan baik ke hati kita dan penerima (inilah ma'rufun).
BIRRUN بِرٌّ)) adalah kebaikan yang bisa menghantarkan ke surga. Misal : infak seribu rupiah bagi org yg punya harta 800 miliar, maka hal ini baik namun tidak berarti banyak, ini bukan birrun. Infak seribu rupiah bagi orang yang hanya memiliki uang dua ribu rupiah, maka ini sangatlah berarti, inilah birrun.
HASANUN (حَسَنٌ) adalah kebaikan yang membuat tiada apapun dan siapapun antara kita dengan Allah Ta'ala. Benar-benar melakukan segalanya hanya karena Allah.
JAYYID  (جَيِّدٌ) adalah kebaikan yang biasanya ditujukan kepada sebuah hadist.
Bila dikatakan suatu hadits yang jayyid atau semisal hadits ini jayyid, maka hal ini dimaksudkan bahwa hadits demikian memiliki sanad yang baik, tidak begitu lemah, dan tidak pula syadz atau ganjil.
THAYYIB  (طَيِّبٌ) kata thayyib  menurut al-Isfahani, menunjukkan sesuatu yang benar-benar baik. Bentuk jamak dari kata ini adalah thayyibât yang diambil dari derivasi thaba-yathibu-thayyib-thayyibah dengan beberapa makna, yaitu: zaka wa thahara (suci dan bersih), jada wa hasuna (baik dan elok), ladzdza (enak), dan halal (halal).
            Dalam al-Qur’an, kata thayyib ini disebutkan salah satunya terkait dalam hal makanan, al-Qur’an menyebutkan kata thayyiban dengan diawali kata halalan dalam bentuk mufrad mudzakkar (laki-laki tunggal) sebanyak empat kali untuk menjelaskan sifat makanan yang halal sebagaimana yang terdapat dalam Surah al-Baqarah: 168.
 Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan adalah kebalikan dari kebaikan itu sendiri.Kejahatan itu bisa dikatakan perbuatan yang keji (الفحشاء )  dan Mungkar (الْمُنكَرِ). Abdullah Ar-Rojihi dalam kitabnya Al Qoulul bayyin Al Adhhar fiddakwah menyebutkan bahwa Munkar (الْمُنكَرِ) adalah setiap amalan/ tindakan yang dilarang oleh syariat Islam, tercela di dalamnya yang mencakup seluruh kemaksiatan dan bid’ah, yang semua itu diawali oleh adanya kemusyrikan. Ada juga yang mengatakan bahwa Munkar (الْمُنكَرِ) adalah kumpulan kejelekan, apa yang diketahui jelek oleh syariat dan akal, kemusyrikan, menyembah patung dan memutus hubungan silaturrahmi. Sedangkan yang dimaksud perbuatan keji atau Al-Fahsya’ (الفحشاء ) adalah suatu sikap/amalan yang buruk, jelek, jorok, cabul, kikir, bakhil, kata-kata kotor, kata yang tidak bisa diterima oleh akal sehat, dan kata fail/ pelakunya diartikan zina. (Kamus Al Munawwir : hal. 1113).




  Berikut ini Pengertian kebaikan dan kejahatan dalam konsep Al-Qur’an:
1. Surah Al-An’am : 160

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلا يُجْزَى إِلا مِثْلَهَا وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ
Artinya: “Barang siapa mengerjakan sesuatu kebajikan, maka (pembalasan) baginya sepuluh ganda kebajikan. Barang siapa melakukan kejahatan (kemaksiatan), maka tidak diberi pembalasan kecuali sesuai (seimbang) dengan apa yang dilakukannya. Mereka sedikitpun tidak dianiaya (dizalimi)”
Tafsir ayat     :
Kata Hasanah pada  ayat tersebut adalah kebaikan yang menghasilkan pahala. Pahala akan kekal seperti halnya kebaikan. Ayat ini berceritakan tentang kemutlakan rahmat Allah, sesuai dengan hadist qudsi berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلى الله عليه وسلم فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ : فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَةَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً ” رواه البخاري ومسلم
Artinya :
Dari Ibnu Abbas radhiallahuanhuma, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana dia riwayatkan dari Rabbnya Yang Maha Suci dan Maha Tinggi: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan dan keburukan, kemudian menjelaskan hal tersebut : Siapa yang ingin melaksanakan kebaikan kemudian dia tidak mengamalkannya, maka dicatat disisi-Nya sebagai satu kebaikan penuh. Dan jika dia berniat melakukannya dan kemudian melaksanakannya maka Allah akan mencatatnya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat bahkan hingga kelipatan yang banyak. Dan jika dia berniat melaksanakan keburukan kemudian dia tidak melaksanakannya maka baginya satu kebaikan penuh, sedangkan jika dia berniat kemudian dia melaksanakannya Allah mencatatnya sebagai satu keburukan“. (Riwayat Al Bukhari dan Muslim).
            Dari hadist tersebut dapat dipahami  bahwa Allah membalas satu kebaikan dengan sepuluh kali lipat atau digandakan sampai tujuh ratus kali. Olehkarena itu setiap perbuatan harus diiringi dengan nilai keikhlasan dalam pelaksanaanya. Allah membuat satu aturan yaitu satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Apabila diiringi dengan niat yang ikhlas akan mencapai beberapa kali lipat lagi sesuai dengan kehendak-Nya.[11]
Dan jika manusia baru saja berniat  melakukan kejahatan, maka Allah tidak menghendaki dosa kepadanya, tetapi jika manusia sudah melakukan kejahatan Allah akan memberikan pembalasan kepadanya sesuai dengan kejahatannya.Sesungguhnya Allah maha adil.
2. Surah An-Nisa’ :79
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا

Artinya : Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.
                                                   


Tafsir ayat:
 Ayat ini menegaskan sisi upaya manusia yang berkaitan dengan sebab dan akibat. Hukum-hukum alam dan kemasyrakatan cukup banyak dan beraneka ragam. Dampak baik dan dampak buruk untuk setiap gerak dan tindakan telah ditetapkan Allah melalaui hukum-hukum tersebut, manusia diberi kemampuan memilah dan memilih, dan masing-masing akan mendapatkan hasil pilihannya. Allah sendiri melalui perintah dan larangan-Nya menghendaki, bahkan menganjurkan kepada manusia agar meraih kebaikan dan nikmat-Nya, karena itu ditegaskan-Nya bahwa, apa saja nikmat yang engkau peroleh, wahai Muhammad dan semua manusia, adalah dari Allah, yakni Dia yang mewujudkan anugerah-Nya, dan apa saja bencana yang menimpamu, engkau wahai Muhammad dan siapa saja selain kamu, maka bencana itu dari kesalahan dirimu sendiri, karena Kami mengutusmu tidak lain hanya menjadi Rasul untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan Allah kepada segenap manusia, kapan dan di mana pun mereka berada. Kami mengutusmu hanya menjadi Rasul, bukan seorang yang dapat menentukan baik dan buruk sesuatu sehingga bukan karena terjadinya bencana atau keburukan pada masamu kemudian dijadikan bukti bahwa engkau bukan Rasul. Kalaulah mereka menduga demikian, biarkan saja. Dan cukuplah Allah menjadi saksi atas kebenaranmu.
Ayat diatas secara redaksional ditujukan kepada Rasulullah saw., tetapi kandungannya terutama ditujukan kepada mereka yang menyatakan bahwa keburukan bersumber dari Nabi atau karenakesialan yang menyertai beliau. Pengarahan redaksi ayat ini kepada Nabi membuktikan bahwa kalau beliau yang sedemikian dekat dengan kedudukannya di sisi Allah serta sedemikian kuat ketakwaannya kepada Allah tetap tidak dapat luput dari sunnatullah dan takdir-Nya, maka tentu lebih-lebih yang lain. Allah tidak membedakan seseorang dari yang lain dalam hal sunnatullah ini.[12]
Setiap kebaikan yang diperoleh oleh orang mukmin, sesungguhnya berasal dari karunia dan kemurahan Allah, di ayat ini ada dua hal yang perlu diketahui :
·         Bahwa segala sesuatu yang berasal dari sisi Allah, dalam arti bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menggariskan aturan-aturan.
·         Manusia terjerumus kedalam keburukan tidak lain disebabkan dia lalai untuk mengetahui sunnah-sunnah. Sesuatu dikatakan buruk, sebenarnya disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri.
Berdasarkan pandangan ini, maka kebaikan berasal dari karunia Allah secara mutlak, dan keburukan berasal dari diri manusia sendiri secara mutlak. Masing-masing dari dua kemutlakan ini mempunyai posisi pembicaraan tersendiri. Telah banyak dasar yang menyatakan bahwa ketaatan kepada Allah merupakan salah satu sebab mendapatkan nikmat, dan bahwa kedurhakaaan kepadanya merupakan salah satu jalan yang mendatangkan kesengsaraan. Ketaatan kepadanya adalah mengikuti sunnah-sunnah-Nya dan menggunakan jalan-jalan yang telah diberi-Nya pada tempat mestinya.
3.Surah Al-Ankabut 45
             اُتْلُ مَآ اُوحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَاَقِمِ الصَّلَوةَ صلى اِنَّ الصَّلَوةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِقلى وَلَذِكْرُ اللهُ اَكْبَرُقلى وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
Artinya : Dan tegakkanlah olehmu sholat ! Sesungguhnya sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar, dan  sesungguhnya  dzikir kepada Alloh itu lebih besar (keutamaan dan pengaruhnya bagi setiap pribadi insan), dan Alloh Maha Mengetahyi apa yang kamu kerjakannya. (Q.S. 29 Al ‘Ankabut : 45).

Tafsir ayat dalam Tafsir Al-Mishbah:
Kata ( اتل ) ‘utlu’ terambil dari kata ( تلاوة ) ‘tilawah’ yang pada mulanya berarti mengikuti. Seorang yang membaca adalah seorang yang hati atau lidahnya mengikuti apa yang terhidang dari lambang-lambang bacaan, misalnya aba (kita membaca huruf satu demi satu hingga lahirlah bacaan aba). Al-Qur’an membedakan penggunaan kata ini dengan dengan kata ( قراة ) ‘qiraah’ yang juga mengandung pengertian yang sama. Kata tilawah, jika yang dmaksud adalah membaca, maka objek bacaan adalah sesuatu yang agung dan suci, atau benar. Sedangkan qiraah, maka objeknya lebih umum, mencakup yang suci atau tidak suci, kandungannya boleh jadi positif atau negatif. Oleh karena objek di atas adalah wahyu, maka dari itu ayat ini menggunakan kata utlu yang artinya ikuti –secara harfiah—untuk mengisyaratkan bahwa apa yang dibaca itu hendaknya diikuti dengan pengamalan.
Kata ( الفحشاء ) ‘al-fahsya`a’ terulang di dalam al-Quran sebanyak 7 kali. Sedang kata munkar terulang sebanyak 15 kali. Menurut kamus bahasa al-Qur’an, al-fahsya`a terambil dari akar yang pada mulanya berarti sesuatu yang melampaui batas dalam keburukan dan kekejian, baik ucapan maupun perbuatan.
Kata ( المنكر ) ‘al-munkar’ pada mulanya berarti sesuatu yang tidak dikenal sehingga diingkari dalam arti tidak disetujui. Itulah sebabnya al-Quran memperhadapkan kata ‘mungkar’ dengan kata ‘ma’ruf’ yang berarti dikenal. Sementara ulama mendefinisikan kata-kata munkar, dari segi pandangan syariat adalah segala sesuatu yang melanggar norma-norma agama dan adat istiadat satu masyarakat. Dari definisi ini kata munkar lebih luas pengertiannya dari kata ma’shiyat/maksiat. Dari ayat yang menggandengkan kata al-fahsya’ dan al-munkar dapat disimpulkan bahwa Allah melarang manusia melakukan segala macam kekejian dan pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, dan shalat mempunyai peranan yang sangat besar dalam mencegah kedua bentuk keburukan itu bila dilaksanakan secara sempurna dan bersinambung.
Menurut Ibn ‘Asyur, kata ( تنهى ) tanha/melarang lebih tepat dipahami dalam arti majdzi, sehingga ayat ini mempersamakan apa yang dikandung oleh shalat, dengan “larangan”, dan mempersamakan shalat dengan segala kandungan dan substansinya dengan seorang yang melarang. Shalat mengandung sekian banyak hal yang mengingatkan kepada Allah, sehingga shalat merupakan pemberi ingat kepada yang shalat. Shalatlah yang nantinya melarang melakukan pelanggaran yang tidak diridhoi Allah. Karena itu pada ayat ini tidak menggunakan kata ( يصدّ ) yashuddu/membendung dan tidak pula menggunakan kata ( يحول ) yahulu/meghalangi, tetapi menggunakan kata ( ينهى ) yanha/melarang. Dan karena itulah waktu shalat diatur berbeda-beda agar berulang-ulang shalat tersebut melarang, menasihati dan mengingatkan, dan sebanyak pengulangannya sebanyak itu pula tambahan kesan ketakwaan dalam hati pelakunya serta sebanyak itu pula kejauhan jiwanya dari kedurhakaan.

Di dalam al-Qur’an tidak ditemukan satu perintah melaksanakan shalat atau pujian kepada yang melaksanakan kegiatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri salam itu, kecuali dibarengi dengan kata ( اقيموا ) aqimu atau yang seakar dengannya. Sedangkan jika berbicara tentang mereka yang mendustakan agama wajarlah jika mendapatkan neraka, ditunjukkannya orang-orang shalat itu dengan kata ( المصلّين ) al-mushallin. Kata yang pertama itu mengandung makna mengerjakan shalat secara berkesinambungan dan menaati syarat-syaratnya serta rukun-rukunnya. Sedangkan kata yang kedua maksudnya adalah kalaupun mengerjakan shalat, tetapi shalat mereaka tidak khusyu’ sehingga tidak sempurna dan tidak mengikuti syarat serta rukunnya.
Kata ( ذكر ) dzikr digunakan dalam arti potensi dalam diri manusia yang menjadikannya mampu memelihara pengetahuan yang dimilikinya. Shalat dinamai dzikr karena dalam shalat mengandung ucapan-ucapan serta ayat-ayat al-Qur’an yang harus diucapkan. Tujuannya adalah untuk mengingat Allah. Ada yang memahami ayat ini dalam arti sesungguhnya dzikir dan “ingatan” Allah terhadapmu lebih besar dan lebih banyak daripada dzikir manusia kepada Allah. Ada juga yang memahami kata dzikir ini dalam arti “mengingat semua perintah dan larangan Allah” sehingga maknanya adalah pengawasan melekat yang mendorong kepada ketaatan secara sempurna. Yang terakhir adalah kata ( تصنعون ) tashna’un digunakan untuk menunjuk perbuatan yang dilakukan seseorang yang mahir dan terampil. Menurut al-Biqa’i, shalat dan amal saleh memerlukan latihan kejiwaan dan pengulangan pengamalan agar ia menjadi kebiasaan yang melekat.


KESIMPULAN
Dari uraian-uraian masalah yang telah dipaparkan pemakalah dapat mengambil kesimpulan bahwa ibadah adalah tunduk, patuh, dan mengikuti perintah Allah swt. Pada dasarnya fitrah manusia sejak lahirnya adalah mengEsakan Allah swt. seperti yang terdapat dalam surah Al-A’raf ayat 172. Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah mengandung suatu pengertian tidak menolak suatu hukum Allah dan meminta sesuatu hanya kepada Allah swt. Ibadah terdiri atas dua jenis yaitu :
·         Ibadah mahdhah  adalah ibadah yang waktu dan kadarnya telah ditentukan oleh hukum syara’. Contohnya shalat, dan lain-lain.
·         Ibadah ghairu mahdhah adalah Ibadah yang waktu dan kadar pelaksanaanya tidak ditentukan oleh hukum syara’. Contohnya sedekah, dan lain-lain.
Kebaikan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia. Sedangkan yang dimaksud kejahatan adalah kebalikan dari kebaikan itu sendiri. Jika kita melakukan kebaikan maka Allah swt. membalas satu kebaikan kita dengan sepuluh kali lipat atau digandakan sampai tujuh ratus kali jika kebaikan itu diiringi dengan niat keikhlasan dalam pelaksanaanya.
            Jika kita baru saja berniat melakukan kejahatan, maka Allah swt. tidak menghendaki dosa kepada kita, tetapi jika kita sudah melakukan kejahatan maka Allah awt. akan memberikan balasan kepada kita sesuai kejahatan yang kita lakukan baik di dunia maupun di akhirat.Sesungguhnya Allah Maha Adil.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Mahali, Jalaludin dan  Jalaludin as-Suyuti, Tafsir Jalalain. Toha Putra: Semarang, 1997.
Ash-Shiddiqy, Hasbi,  Kuliah Ibadah: Ibadah Ditinjau Dari segi Hukum dan Hikmah. Jakarta: Bulan Bintang, 1991
As-Suyuti, ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr. Semarang :Toha Putra, 1995
Hafsah, Fiqh. Jakarta: Citapustaka Media Perintis, 2011
Kementrian Agam RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid III. Jakarta: Lentera Abadi, 2010
Langgulung, Hasan, ,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung : PT.Al-a’rif,1980
Muhammad, Syekh Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi. Jakarta: Duta Azhar, 2006
Mushthafa, Ahmad al-Maraghi, Tafsir al-maraghi. Semarang: Toha Putra, 1987
Shihab, M. Quraish, tafsir Al- Mishbah volume 13. Jakarta: Lentera Hati, 2002
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana, 2003


[1]Hasbi Ash-Shiddiqy, Kuliah Ibadah: Ibadah Ditinjau Dari segi Hukum dan Hikmah
 (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 1
[2] Ahmad Mushthafa al-maraghi, Tafsir al-maraghi (semarang : toha putra, 1987), hlm. 
102
[3] Hafsah, Fiqh (Jakarta: Citapustaka Media Perintis, 2011), hal.4
[4] M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung :Mizan,1996),cet ke-3,hlm.284
[5] Hasan Langgulung,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung :PT.Al-
a’rif,1980), hlm.2
[6]Kementrian Agama  RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid III (Jakarta: Lentera Abadi,
2010),    hal. 519-521
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah (Jakarta: Lentera Hati,2002), hal. 207
[8] Ibid.hlm.208
[9] As-Suyuti, ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr (Semarang :Toha Putra,1995),hlm.
352

[10] Jalaludin al-Mahali dan  Jalaludin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Toha Putra, Semarang, 1997, hal: 567
[11]Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi (Jakarta: Duta        
Azhar,2006),hal.554  
[12]M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran Volume2
 (Jakarta: Lentera hati, 2000), hal.497